PSHT - Persaudaraan Setia Hati Terate
Ilmusetiahati.com - Cikal bakal
PSHT atau Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC) atau Setia Hati Muda, perguruan pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, asal Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Surodiwiryo, pendiri aliran pencak silat Setia Hati, yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).
Pada awal perintisan, SH Muda atau SH PSC hanyalah berupa kelompok latihan pencak silat yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Baca Juga : Kronologi Penganiayaan Anggota PSHT Surakarta, Korban Sempat Ditanya KOE JJ OPO PUNJERBerbekal ilmu pencak silat Setia Hati, ciptaan Ki Ngabehi Surodiwiryo saat beliau berguru di Setia Hati, beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu pencak silat.
Dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum Setia Hati Terate, menyebutkan, latihan pencak yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda.
Jiwa patriotisme yang berada di dalam dada beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain.
Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat letihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jawa Timur.
Baca Juga : Sejarah Pamter atau Paspamter PSHTKajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, juga menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia.
Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan.
Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak Setia Hati diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Camat, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan.
Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya.
Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT).
Beberapa dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”.
Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Surodiwiryo.
Selain alasan tersebut di atas, Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada Orang Belanda.
Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.
Dalam sejarah sebetulnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924 yaitu dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club atau sering disebut Setia Hati Muda.
Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC.
Usulan nama SH PSC tersebut didapat setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang bernama Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Baca Juga : SH TERATE PERTAMA BERORGANISASIDalam buku harian pribadinya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusat latihan tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.
Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda.
Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Catatan singkat sejarah perjuangan Ki Haadjar Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Ibu. Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Jember.
Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Ki Hadjar Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie.
Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah colonial Belanda di dalam penjara.
Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Ki Hadjar Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember.
Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang).
Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah.
Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera).
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul Papua.
Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.
Catatan ringkas perjalanan PSHT yang dibuat oleh Bapak Jhendro Dharsono , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Ki Hadjar Hardjo Oetomo cukup menderita.
Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara).
Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa surat kabar atau koran.
Surat kabar yang didirikan Ki Hadjar Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”.
Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.
Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel oleh Pemerintah Penjajah Belanda.
Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Ki Hadjar Hardjo Oetomo terus diawasi.
Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Mamasuki tahun 1938, kondisi tubuh Ki Hadjar Hardjo Oetomo mulai menurun.
Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial ala Organisasi Modern mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.
Mulai tahun 1941 – 1943 Soemo Sodarjo anak angkat bungsu Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai Hofd Leader atau Ketua Pelatih SH PSC untuk meneruskan ajaran pencak silat Ki Hadjar Harjo Oetomo.
Kemudian Hassan Soewarno seorang pendekar andalah SH Pemuda Sport Club saat itu selanjutnya mendapat amanah sebagai Hofd Leader SH PSC pada 1943 – 1945.
Tahun 1945 – 1951 Hardjo Mardjoet anak angkat kedua Ki Hadjar Hardjo Oetomo diangkat sebagai Hofd Leader terakir SH Pemuda Sport Club sebelum berubah menjadi Organisasi Persaudaraan.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC mulai diusulkan diganti namanya menjadi Setia Hati Terate (SH Terate).
Nama SH Terate merupakan usulan Soeratno Sorengpati yang pertama kali digunakan sebagai nama perkumpulan SH PSC di Yogyakarta , beliau merupakan tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat.
Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Atas izin Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar musyawarah antar warga SH Terate di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun.
Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Darsono, Bapak Soemadji, Badini dan Irsad.
Saat ini beliau dalam kondisi sakit stroke. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan PSHT harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.
Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.
Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.
Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
25 Maret 1951 Murid murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo bermusyawarah bertempatkan pada kediaman Bapak Santoso Kartoatmodjo di Jl. Dr. Soetomo 76, Madiun.
Musyawarah tersebut menghasilkan kesepakatan untuk terus melestarikan ajaran Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan merubah SH Pemuda Sport Club yang sebelumnya berbentuk Paguron menjadi Organisasi Persaudaraan SH Terate ditahun inilah Adart PSHT pertama muncul.
Tahun 1952
Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsining.
Keberadaan Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron.
Baca Juga : Paradigma Ajaran Setia Hati : Antara Pengakuan dan KenyataanKarena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.
Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan PSHT yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” pada tanggal 13 September 1953, digelar konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo ditetapkan sebagai Ketua Umum.
Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain:
Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, PSHT memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar.
Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini diangkat sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya.
Dengan adanya perubahan system komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern.
Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan lainya ; agar PSHT tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin.
Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan.
Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.
Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi.
Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate.
Dalam tahun 1956, karena Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua PSHT digantikan Bapak Irsyad Hadi Widagdo.
Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Bapak Bambang Soedarsono.
Bapak Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri cukup matang.
Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Beberapa gerakan jurus SH dicermati dan dikaji ulang.
Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Pak Irsyad ini, melahirkan sejumlah gerakan teknik yang kemudian dipakai untuk mengakurasikan beberapa gerakan jurus di PSHT.
Pada saat Pak Irsad menjadi ketua pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan :
Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya, Jurus 1 sampai dengan Jurus 4, diakurasikan.
Terutama pada gerakan serangan.
Sebelumnya pukulan pada Jurus 1 adalah mbandul , diakurasikan menjadi menohok.
Kemudian gerak colok yang semula hanya dengan dua jari, diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga.
Gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah jurus delapan. Yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
Sementara untuk mendasari gerakan siswa PSHT, Pak Irsyad menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh).
Pada era kepemimpinan Pak Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate.
Beliau sendiri yang menciptakan. Salah satu alasan penciptaan Kode Pendekar, karena jumlah warga PSHT saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode Pendekar PSHT ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu warga PSHT atau bukan.
Sambil berbasa basi, misalnya, dia secara diam diam memberikan Kode Pendekar SH Terate kepada orang yang baru dikenalnya.
Jika kode itu dijawab dengan tepat, berarti orang yang baru dikenalnya itu warga PSHT. Sudah barang tentu, karena bertemu saudara seperguruan, kedua orang yang baru saling mengenal itupun berangkulan.
Menyatu dalam rasa, seakan tak ada lagi sekat diantara mereka.
Selain itu, Kode Pendekar SH Terate juga bisa digunakan untuk mendeteksi, apakah seseorang yang mengaku sebagai warga PSHT, benar benar warga atau bukan (warga awu awu alias bohong).
Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Pak Irsyad tersebut sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota PSHT yang sudah disyahkan menjadi warga.
Salah seorang murid Pak Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 (satu) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dan pendalaman akurasi jurus, adalah RM Imam Koesoepangat.
RM Imam Koesoepangat, lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai latihan SH Terate tahun 1953. Selama tiga tahun beliau berlatih di bawah asuhan langsung Pak Irsyad.
Boleh dibilang, pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam yang dilakukan pada era kepemimpian beliau diajarkan kepada Mas Imam. Mas Imam disyahkan penjadi Pendekar PSHT pada tahun 1958.
Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
Tahun 1959, Mas Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih.
Mas Tarmadji adalah anak didik langsung RM Imam Koesoepangat.
Menurut penuturan Mas Tarmadji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, beliau cukup tegas, keras dan disiplin.
Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.
Selama Mas Madji (panggilan akrab Tarmadji) dilatih beliau, senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate.
Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa PSHT adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Pak Irsyad kepada Mas Imam, dan diturunkan kepada siswa beliau.
Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Pak Irsyad ini yang akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat PSHT.
Pada kisaran tahun 1960 Pak Irsyad mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua PSHT dan pindah tempat tinggal ke Bandung.
Sebagai gantinya, Bapak Santoso, diangkat kembali sebagai Ketua Pusat SH Terate.
Kesaksian Mas Madji, pada tahun 1961 beliau sempat datang ke tempat Bapak Santoso.
Saat itu digelar acara pengesahan warga baru. Pak Santoso saat itu menjabat sebagai Ketua PSHT. Pada pereode ini, sekalipun tetap ada pengesahan warga baru, namun jumlahnya relativ kecil.
Tahun 1961, Mas Tarmadji berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo mengikuti pertandingan pencak silat seni dan keluar sebagai juara I se Jawa Timur untuk kategori kanak kanak.
Prestasi ini kembali diraih pada tahun 1963, untuk kategori remaja.
Pada tahun 1963, untuk pertamakalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa).
Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.
Pada Tahun 1963 anak didik pertama RM Imam Koesoepangat mulai disahkan. Yakni, Tarmadji (sekartang menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung.
Dari kedelapan anak didik pertama Mas Imam ini, hingga tulisan ini dibuat tahun 2020, yang masih hidup tinggal satu orang beliau adalah Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Di sela sela pelajaran materi PSHT diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran osdower.
Sementara itu, bagi saudara saudara kadang PSHT yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas (mempelajari ilmu kekebalan), ditembak lakak lakak (ditembak malah tertawa), tidak pernah dipermasalahkan, dengan catatan, ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak memasukkannya ke kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai Ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa PSHT ke dalam pilihan ideologi politiknya.
Pada periode 1965, bisa dikatakan sebagai masa sulit bagi perkembangan SH Terate.
Sedikit sekali dokumen yang ditinggalkan pada masa ini.
Malah bisa dikatakan langka. Secara umum juga diakui sebagai masa suram bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadinya pergolakan politik yang mengguncang stabilitas nasional.
Dokumen administrasi PSHT menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun.
Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus.
Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I PSHT Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.
Pada tahun ini, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate.
Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis.
Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih PSHT. Mereka adalah, Pak Badini, Pak Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
Tahun 1967 RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar.
Kecintaan beliau pada PSHT mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu.
Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tapat pada hari ake-7, Mas Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan.
Dengan suara terbata bata, beliau meminta Mas Madji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “ nJenengan eling eling Dik,njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terateageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguron liyane.( Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan pecak silat lainnya).
Menurut Mas Madji, beliau hanya diam mendengar ungkapan Mas Imam saat itu. Beliau tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya,” ujar Mas Madji. Hari hari berikutnya, Mas Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil.
Namun terkait ini Mas Madji menegaskan, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau juga tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkannya ke kurikulum pelajaran di PSHT.
Tahun 1968, Mas Tarmadji berpasangan dengan Sutarto mengikuti seleksi Pra PON.
Baca Juga : Safari Silaturahim Ketua Umum PSHT ke Sesepuh MadiunTahun berikutnya berhasil jadi Juara III PON VII.Sebelumnya juga berhasil meraih Juara I pada even pencak silat seni di Jember.
Pada tahun 1974 Bapak Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhakti sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan PSHT mulai melebar ke luar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang didirikan. Antara lain: Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo.
Satu momentun penting yang dilahirkan pada priode kepemimpijan Pak Soetomo Manghkoedjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik.
Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974, digelar Konggres Persaudaraan Setia Hati Terate, di Madiun.
Hasilnya, menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebagai roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate.
Konggres tersebut menghasilkan kesepakatan :
Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua pusat dan Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat.
Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
Pada tanggal 14 Desember tahun 1975, Bapak Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahbeliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah baratStadion Wilis Kota Madiun.
Pada tahun 1977, SH Terate kembali menggelar konggres di Madiun. Konggres ini menelorkan sejumlah keputusan. Antara lain, mengangkat Bapak Badini asal Magetn sebagai ketua SH Terate Pusat Madiun. Sedangkan RM Imam Koesoepangat menduduki jabatan Dewan Pusat.
Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mulai diserahi amanah untuk menduduki jabatan di jajaran ketua. Yaitu, sebagai Ketua I.
Saat itu, meskipun jabatan Ketua Pusat dipegang Pak Badini, untuk urusan pengesahan warga baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk memimpin acara.
Pak Badini dikenal sebagai seorang pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel).
Gerakannya cukup matang, luwes, indah dan berisi.
Saat menjadi Ketua SH Terate, beliau masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak seni SH Terate.
Saat Ir.Soekarno menjabat Presiden RI, Pak Badini pernah dipanggil ke Istana untuk memperagakan pencak silat seni berpasangan dengan Bapak Hardjo Mardjut.
Tahun 1978 SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
Mengemban amanat pungurus pusat Mas Tarmadji mengajukan sejumlah langkah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi.
Salah satunya, pada tahun 1978, mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya berupa uang logam yang sudah tidak laku (Ketengan atau Benggolan), menjadi uang laku yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan atau benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya, menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan warga atas jasa beliau mendirikan perguruan pencak silat ini.
Usulan Mas Tarmadji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversial dan memancing perdebatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat.
Banyak tokoh SH Terate kurang sependapat. Malah, beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya.
Antara lain, Dharmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono dan Pak Isoyo.
Saya diminta memberikan alasan atas usulan itu. Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya berbentuk uang logam yang sudah tidak laku menjadi uang logam yang laku.
Alasan ini cukup mendasar. Sebab, SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern.
Dengan adanya kesepakatan ini, berarti SH Terate bukan lagi menjadi milik orang perorang, tapi milik anggota.
Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern, maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi, tantangan ke depan, bukan semakin kecil tapi semakin besar.
Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pihaknya bertanggung jawab penuh.
Dan janji itu benar benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Ki Hadjar Hardjo Oetomo masih hidup.
Tanggung jawab menghargai jasa pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Sebut misalnya, membiayai acara kirim doa, baik pada peringatan hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Ki Hadjar.
Alasan yang diajukan Mas Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate.
Sejak saat itu, uang mahar yang digunakan calon warga baru dalam prosesi pengesahan, diganti dari yang semula berupa uang logam lama yang tidak laku, menjadi uang logam yang berlaku.
Uang logam, sebagai uang mahar ini, tidak mutlak harus uang rupiah yang diberlakukan Pemerintah RI.
Tapi dibolehkan pula uang logam lain, misalnya Dolar, Ringgit, Real dan lain sebagainya, disesuaikan dengan calon warga yang akan disyahkan.
Usulan tersebut, membawa dampak positif bagi perkembangan SH Terate.
Bersumber dari uang mahar itu pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
Karena posisinya yang cukup strategis sebagai sumber pemasukan kas organisasi, hingga saat ini SH Terate Pusat Madiun menghimbau kepada cabang agar menyetor uang mahar ke pusat setiap mengesahkan warga baru. Sebab uang mahar adalah uang pitukon siswa yang menimba ilmu di SH Terate.
Artinya, uang mahar adalah milik organisasi dan menjadi hak mutlak pusat sebagai pemegang hak paten SH Terate. (Kajian pendalaman tentang Uang Mahar, insya Allah, akan kami tulis dalam buku tersendiri,pen).
Pada tahun 1979 digelar Krida Nasional SH Terate Cup I di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam even pencak silat antar atlet SH Terate ini, Persaudaraan SH Terate Cabang Surakarta.
Laga pesilat SH Terate ini kembali digelar pada tahun 1981 di Surakarta. Hasil Krida Nasional SH Terate Cup II yang dibuka Pangdam VII Diponegoro ini, melejitkan atlet SH Terate dari Cabang Ngawi, sebagai Juara Umum.
13 November 1981 digelar Musyawaraah Besar (MUBES) III SH Terate dan terpilihlahTarmadji Boedi Harsono sebagai Ketua Umum dan Imam Koes Soepangat sebagai Dewan Pusat SH Terate.
Pada Mubes inilah mulai tersusunlah materi baku PSHT yaitu 36 Jurus dan 90 Senam Desar.
Pada periode ini mulai dibakukan Materi Jurus Toya kreasi Sipit Tri Susilo Haryono dan Senam Masal kreasi Imam Suyitno.
1985 SH Terate kembali menggelar Mubes IV di Madiun dan Tarmadji Boedi Harsono kembali menadapat amanah memimpin PSHT dan Imam Koes Soepangat tetap sebagai Dewan Pusat SH terate.
Pada tahun inilah dimulainya pembangungan Padepokan Agung Jl. Merak Nambang Kidul, Madiun.
Pada tanggal 16 November 1987, berita duka melanda SH Terate dimana R.M Imam Koessoepangat meninggalkan kita semua dalam usia 49 tahun.
Kemudian pada Mubes ke V SH Terate 1991 menghasilkan keputusan Tarmadji Boedi Harsono masih sebagai Ketua Umum dan Marwoto sebagai Dewan Pusat SH Terate.
Mubes VI SH Terate 1 – 3 September 2000 menghasilkan kesepakatan Tarmadji Boedi Harsono masih mendapat amanah sebagai Ketua Umum dan Marwoto sebagai Dewan Pusat PSHT.
SH Terate mangadakan Rakernas pada 16 – 17 Oktober 2009 sebagai bentuk tindak lanjut terbitnya SK Adart 2008 yang membuat gejolak di internal SH Terate yang menghasilkan kesepakatan Tarmadji Boedi Harsono tetap sebagai Ketua Umum sekaligus sebagai Ketua Dewan Pusat SH Terate.
Untuk melengkapi keterbatasan Dewan Pusat maka Pengurus Pusat menggagas Dewan Pendekar yang beranggotakan sembilan Tokoh PSHT, periode inilah Muhammad Taufiq mulai terpercaya sebagai Ketua IV Pengurus Pusat PSHT.
10 April 2014 Tarmadji Boedi Haesono mengeluarkan SK Reorganisasi Pengurus Pusat SH Terate dan menunjuk Richard Simorangkir asal Sleman Yogyakarta sebagai Ketua Pusat SH Terate dan Tarmadji Boedi Harsono sebagai Dewan Pusat guna reorganisasi tubuh SH Terate.
2014 Richard Simorangkir wafat dikediaman beliau Sleman, kemudian untuk sementara Arief Soeryono dipercaya sebagai PLT Ketua Pusat SH Terate.
Beliau diamanahi sebagai PLT Ketua Pusat SH Terate untuk mempersiapkan parapatan luhur selanjutnya.
Tak berselang lama pada 20 Oktober 2015 berita duka kembali menyelimuti bumi SH Terate, Kang Mas Tarmadji Budi Harsono berpulang pada usia 69 tahun.
Tampuk kepemimpinan Dewan Pusat SH Terate dipercayakan kepada R.B Wiyono dan PLT Ketua Pusat tetap dipegang oleh Arief Suryono.
11 – 12 Maret 2016 Terselanggarakanya Parapatan Luhur yang mengeluarkan keputusan menetapkan Dr.Ir.H. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc sebagai Ketua Umum dan R.B Wiyono sebagai Majelis Luhur untuk memimpin PSHT 5 tahun kedepan hingga parapatan luhur terselenggara kembali tahun 2021.
Cikal bakal PSHT atau Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC) atau Setia Hati Muda, perguruan pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, asal Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Surodiwiryo, pendiri aliran pencak silat Setia Hati, yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).
Pada awal perintisan, SH Muda atau SH PSC hanyalah berupa kelompok latihan pencak silat yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Berbekal ilmu pencak silat Setia Hati, ciptaan Ki Ngabehi Surodiwiryo saat beliau berguru di Setia Hati, beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu pencak silat.
Dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum Setia Hati Terate, menyebutkan, latihan pencak yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda.
Jiwa patriotisme yang berada di dalam dada beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain.
Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat letihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jawa Timur.
Kajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, juga menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia.
Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan.
Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak Setia Hati diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Camat, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan.
Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya.
Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT).
Beberapa dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”.
Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Surodiwiryo.
Selain alasan tersebut di atas, Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada Orang Belanda.
Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.
Dalam sejarah sebetulnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924 yaitu dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club atau sering disebut Setia Hati Muda.
Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC.
Usulan nama SH PSC tersebut didapat setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang bernama Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku harian pribadinya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusat latihan tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.
Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda.
Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Catatan singkat sejarah perjuangan Ki Haadjar Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Ibu. Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Jember.
Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Ki Hadjar Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie.
Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah colonial Belanda di dalam penjara.
Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Ki Hadjar Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember.
Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang).
Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah.
Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera).
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul Papua.
Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.
Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh Bapak Jhendro Dharsono , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Ki Hadjar Hardjo Oetomo cukup menderita.
Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara).
Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa surat kabar atau koran.
Surat kabar yang didirikan Ki Hadjar Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”.
Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.
Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel oleh Pemerintah Penjajah Belanda.
Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Ki Hadjar Hardjo Oetomo terus diawasi.
Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Mamasuki tahun 1938, kondisi tubuh Ki Hadjar Hardjo Oetomo mulai menurun.
Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial ala Organisasi Modern mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.
Mulai tahun 1941 – 1943 Soemo Sodarjo anak angkat bungsu Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai Hofd Leader atau Ketua Pelatih SH PSC untuk meneruskan ajaran pencak silat Ki Hadjar Harjo Oetomo.
Kemudian Hassan Soewarno seorang pendekar andalah SH Pemuda Sport Club saat itu selanjutnya mendapat amanah sebagai Hofd Leader SH PSC pada 1943 – 1945.
Tahun 1945 – 1951 Hardjo Mardjoet anak angkat kedua Ki Hadjar Hardjo Oetomo diangkat sebagai Hofd Leader terakir SH Pemuda Sport Club sebelum berubah menjadi Organisasi Persaudaraan.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC mulai diusulkan diganti namanya menjadi Setia Hati Terate (SH Terate).
Nama SH Terate merupakan usulan Soeratno Sorengpati yang pertama kali digunakan sebagai nama perkumpulan SH PSC di Yogyakarta , beliau merupakan tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat.
Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Atas izin Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar musyawarah antar warga SH Terate di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun.
Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Darsono, Bapak Soemadji, Badini dan Irsad.
Saat ini beliau dalam kondisi sakit stroke. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.
Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.
Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.
Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
25 Maret 1951 Murid murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo bermusyawarah bertempatkan pada kediaman Bapak Santoso Kartoatmodjo di Jl. Dr. Soetomo 76, Madiun.
Musyawarah tersebut menghasilkan kesepakatan untuk terus melestarikan ajaran Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan merubah SH Pemuda Sport Club yang sebelumnya berbentuk Paguron menjadi Organisasi Persaudaraan SH Terate ditahun inilah Adart PSHT pertama muncul.
Tahun 1952
Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsining.
Keberadaan Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron.
Karena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.
Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu. Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” pada tanggal 13 September 1953, digelar konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo ditetapkan sebagai Ketua Umum.
Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain:
Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar.
Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini diangkat sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya.
Dengan adanya perubahan system komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern.
Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan lainya ; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin.
Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan.
Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.
Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi.
Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate.
Dalam tahun 1956, karena Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Bapak Irsyad Hadi Widagdo.
Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Bapak Bambang Soedarsono.
Bapak Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri cukup matang.
Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Beberapa gerakan jurus SH dicermati dan dikaji ulang.
Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Pak Irsyad ini, melahirkan sejumlah gerakan teknik yang kemudian dipakai untuk mengakurasikan beberapa gerakan jurus di SH Terate.
Pada saat Pak Irsad menjadi ketua pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan :
Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya, Jurus 1 sampai dengan Jurus 4, diakurasikan.
Terutama pada gerakan serangan.
Sebelumnya pukulan pada Jurus 1 adalah mbandul , diakurasikan menjadi menohok.
Kemudian gerak colok yang semula hanya dengan dua jari, diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga.
Gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah jurus delapan. Yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate, Pak Irsyad menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh).
Pada era kepemimpinan Pak Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate.
Beliau sendiri yang menciptakan. Salah satu alasan penciptaan Kode Pendekar, karena jumlah warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode Pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu warga SH Terate atau bukan.
Sambil berbasa basi, misalnya, dia secara diam diam memberikan Kode Pendekar SH Terate kepada orang yang baru dikenalnya.
Jika kode itu dijawab dengan tepat, berarti orang yang baru dikenalnya itu warga SH Terate. Sudah barang tentu, karena bertemu saudara seperguruan, kedua orang yang baru saling mengenal itupun berangkulan.
Menyatu dalam rasa, seakan tak ada lagi sekat diantara mereka.
Selain itu, Kode Pendekar SH Terate juga bisa digunakan untuk mendeteksi, apakah seseorang yang mengaku sebagai warga SH Terate, benar benar warga atau bukan (warga awu awu alias bohong).
Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Pak Irsyad tersebut sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi warga.
Salah seorang murid Pak Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 (satu) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dan pendalaman akurasi jurus, adalah RM Imam Koesoepangat.
RM Imam Koesoepangat, lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai latihan SH Terate tahun 1953. Selama tiga tahun beliau berlatih di bawah asuhan langsung Pak Irsyad.
Boleh dibilang, pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam yang dilakukan pada era kepemimpian beliau diajarkan kepada Mas Imam. Mas Imam disyahkan penjadi Pendekar SH Terate pada tahun 1958.
Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
Tahun 1959, Mas Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih.
Mas Tarmadji adalah anak didik langsung RM Imam Koesoepangat.
Menurut penuturan Mas Tarmadji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, beliau cukup tegas, keras dan disiplin.
Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.
Selama Mas Madji (panggilan akrab Tarmadji) dilatih beliau, senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate.
Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa SH Terate adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Pak Irsyad kepada Mas Imam, dan diturunkan kepada siswa beliau.
Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Pak Irsyad ini yang akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.
Pada kisaran tahun 1960 Pak Irsyad mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung.
Sebagai gantinya, Bapak Santoso, diangkat kembali sebagai Ketua Pusat SH Terate.
Kesaksian Mas Madji, pada tahun 1961 beliau sempat datang ke tempat Bapak Santoso.
Saat itu digelar acara pengesahan warga baru. Pak Santoso saat itu menjabat sebagai Ketua SH Terate. Pada pereode ini, sekalipun tetap ada pengesahan warga baru, namun jumlahnya relativ kecil.
Tahun 1961, Mas Tarmadji berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo mengikuti pertandingan pencak silat seni dan keluar sebagai juara I se Jawa Timur untuk kategori kanak kanak.
Prestasi ini kembali diraih pada tahun 1963, untuk kategori remaja.
Pada tahun 1963, untuk pertamakalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa).
Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.
Pada Tahun 1963 anak didik pertama RM Imam Koesoepangat mulai disahkan. Yakni, Tarmadji (sekartang menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung.
Dari kedelapan anak didik pertama Mas Imam ini, hingga tulisan ini dibuat tahun 2020, yang masih hidup tinggal satu orang beliau adalah Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Di sela sela pelajaran materi SH Terate diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran osdower.
Sementara itu, bagi saudara saudara kadang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas (mempelajari ilmu kekebalan), ditembak lakak lakak (ditembak malah tertawa), tidak pernah dipermasalahkan, dengan catatan, ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak memasukkannya ke kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai Ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.
Pada periode 1965, bisa dikatakan sebagai masa sulit bagi perkembangan SH Terate.
Sedikit sekali dokumen yang ditinggalkan pada masa ini.
Malah bisa dikatakan langka. Secara umum juga diakui sebagai masa suram bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadinya pergolakan politik yang mengguncang stabilitas nasional.
Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun.
Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus.
Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.
Pada tahun ini, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate.
Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis.
Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Pak Badini, Pak Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
Tahun 1967 RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar.
Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Baca Juga : Kang Jasman – Seni Silat Setia Hati ESHASebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu.
Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tapat pada hari ake-7, Mas Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan.
Dengan suara terbata bata, beliau meminta Mas Madji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “ nJenengan eling eling Dik,njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terateageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguron liyane.( Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan pecak silat lainnya).
Menurut Mas Madji, beliau hanya diam mendengar ungkapan Mas Imam saat itu. Beliau tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya,” ujar Mas Madji. Hari hari berikutnya, Mas Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil.
Namun terkait ini Mas Madji menegaskan, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau juga tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkannya ke kurikulum pelajaran di SH Terate.
Tahun 1968, Mas Tarmadji berpasangan dengan Sutarto mengikuti seleksi Pra PON.
Tahun berikutnya berhasil jadi Juara III PON VII.Sebelumnya juga berhasil meraih Juara I pada even pencak silat seni di Jember.
Pada tahun 1974 Bapak Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhakti sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar ke luar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang didirikan. Antara lain: Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo.
Satu momentun penting yang dilahirkan pada priode kepemimpijan Pak Soetomo Manghkoedjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik.
Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974, digelar Konggres Persaudaraan Setia Hati Terate, di Madiun.
Hasilnya, menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebagai roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate.
Konggres tersebut menghasilkan kesepakatan :
Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua pusat dan Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat.
Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
Pada tanggal 14 Desember tahun 1975, Bapak Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahbeliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah baratStadion Wilis Kota Madiun.
Pada tahun 1977, SH Terate kembali menggelar konggres di Madiun. Konggres ini menelorkan sejumlah keputusan. Antara lain, mengangkat Bapak Badini asal Magetn sebagai ketua SH Terate Pusat Madiun. Sedangkan RM Imam Koesoepangat menduduki jabatan Dewan Pusat.
Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mulai diserahi amanah untuk menduduki jabatan di jajaran ketua. Yaitu, sebagai Ketua I.
Saat itu, meskipun jabatan Ketua Pusat dipegang Pak Badini, untuk urusan pengesahan warga baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk memimpin acara.
Pak Badini dikenal sebagai seorang pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel).
Gerakannya cukup matang, luwes, indah dan berisi.
Saat menjadi Ketua SH Terate, beliau masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak seni SH Terate.
Saat Ir.Soekarno menjabat Presiden RI, Pak Badini pernah dipanggil ke Istana untuk memperagakan pencak silat seni berpasangan dengan Bapak Hardjo Mardjut.
Tahun 1978 SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
Mengemban amanat pungurus pusat Mas Tarmadji mengajukan sejumlah langkah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi.
Salah satunya, pada tahun 1978, mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya berupa uang logam yang sudah tidak laku (Ketengan atau Benggolan), menjadi uang laku yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan atau benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya, menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan warga atas jasa beliau mendirikan perguruan pencak silat ini.
Usulan Mas Tarmadji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversial dan memancing perdebatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat.
Banyak tokoh SH Terate kurang sependapat. Malah, beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya.
Antara lain, Dharmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono dan Pak Isoyo.
Saya diminta memberikan alasan atas usulan itu. Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya berbentuk uang logam yang sudah tidak laku menjadi uang logam yang laku.
Alasan ini cukup mendasar. Sebab, SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern.
Dengan adanya kesepakatan ini, berarti SH Terate bukan lagi menjadi milik orang perorang, tapi milik anggota.
Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern, maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi, tantangan ke depan, bukan semakin kecil tapi semakin besar.
Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pihaknya bertanggung jawab penuh.
Dan janji itu benar benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Ki Hadjar Hardjo Oetomo masih hidup.
Tanggung jawab menghargai jasa pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Sebut misalnya, membiayai acara kirim doa, baik pada peringatan hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Ki Hadjar.
Alasan yang diajukan Mas Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate.
Sejak saat itu, uang mahar yang digunakan calon warga baru dalam prosesi pengesahan, diganti dari yang semula berupa uang logam lama yang tidak laku, menjadi uang logam yang berlaku.
Uang logam, sebagai uang mahar ini, tidak mutlak harus uang rupiah yang diberlakukan Pemerintah RI.
Tapi dibolehkan pula uang logam lain, misalnya Dolar, Ringgit, Real dan lain sebagainya, disesuaikan dengan calon warga yang akan disyahkan.
Usulan tersebut, membawa dampak positif bagi perkembangan SH Terate.
Bersumber dari uang mahar itu pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
Karena posisinya yang cukup strategis sebagai sumber pemasukan kas organisasi, hingga saat ini SH Terate Pusat Madiun menghimbau kepada cabang agar menyetor uang mahar ke pusat setiap mengesahkan warga baru. Sebab uang mahar adalah uang pitukon siswa yang menimba ilmu di SH Terate.
Artinya, uang mahar adalah milik organisasi dan menjadi hak mutlak pusat sebagai pemegang hak paten SH Terate. (Kajian pendalaman tentang Uang Mahar, insya Allah, akan kami tulis dalam buku tersendiri,pen).
Pada tahun 1979 digelar Krida Nasional SH Terate Cup I di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam even pencak silat antar atlet SH Terate ini, Persaudaraan SH Terate Cabang Surakarta.
Laga pesilat SH Terate ini kembali digelar pada tahun 1981 di Surakarta. Hasil Krida Nasional SH Terate Cup II yang dibuka Pangdam VII Diponegoro ini, melejitkan atlet SH Terate dari Cabang Ngawi, sebagai Juara Umum.
13 November 1981 digelar Musyawaraah Besar (MUBES) III SH Terate dan terpilihlahTarmadji Boedi Harsono sebagai Ketua Umum dan Imam Koes Soepangat sebagai Dewan Pusat SH Terate.
Pada Mubes inilah mulai tersusunlah materi baku PSHT yaitu 36 Jurus dan 90 Senam Desar.
Pada periode ini mulai dibakukan Materi Jurus Toya kreasi Sipit Tri Susilo Haryono dan Senam Masal kreasi Imam Suyitno.
1985 SH Terate kembali menggelar Mubes IV di Madiun dan Tarmadji Boedi Harsono kembali menadapat amanah memimpin PSHT dan Imam Koes Soepangat tetap sebagai Dewan Pusat SH terate.
Pada tahun inilah dimulainya pembangungan Padepokan Agung Jl. Merak Nambang Kidul, Madiun.
Pada tanggal 16 November 1987, berita duka melanda SH Terate dimana R.M Imam Koessoepangat meninggalkan kita semua dalam usia 49 tahun.
Kemudian pada Mubes ke V SH Terate 1991 menghasilkan keputusan Tarmadji Boedi Harsono masih sebagai Ketua Umum dan Marwoto sebagai Dewan Pusat SH Terate.
Mubes VI SH Terate 1 – 3 September 2000 menghasilkan kesepakatan Tarmadji Boedi Harsono masih mendapat amanah sebagai Ketua Umum dan Marwoto sebagai Dewan Pusat PSHT.
SH Terate mangadakan Rakernas pada 16 – 17 Oktober 2009 sebagai bentuk tindak lanjut terbitnya SK Adart 2008 yang membuat gejolak di internal SH Terate yang menghasilkan kesepakatan Tarmadji Boedi Harsono tetap sebagai Ketua Umum sekaligus sebagai Ketua Dewan Pusat SH Terate.
Untuk melengkapi keterbatasan Dewan Pusat maka Pengurus Pusat menggagas Dewan Pendekar yang beranggotakan sembilan Tokoh PSHT, periode inilah Muhammad Taufiq mulai terpercaya sebagai Ketua IV Pengurus Pusat PSHT.
10 April 2014 Tarmadji Boedi Haesono mengeluarkan SK Reorganisasi Pengurus Pusat SH Terate dan menunjuk Richard Simorangkir asal Sleman Yogyakarta sebagai Ketua Pusat SH Terate dan Tarmadji Boedi Harsono sebagai Dewan Pusat guna reorganisasi tubuh SH Terate.
2014 Richard Simorangkir wafat dikediaman beliau Sleman, kemudian untuk sementara Arief Soeryono dipercaya sebagai PLT Ketua Pusat SH Terate.
Beliau diamanahi sebagai PLT Ketua Pusat SH Terate untuk mempersiapkan parapatan luhur selanjutnya.
Tak berselang lama pada 20 Oktober 2015 berita duka kembali menyelimuti bumi SH Terate, Kang Mas Tarmadji Budi Harsono berpulang pada usia 69 tahun.
Tampuk kepemimpinan Dewan Pusat SH Terate dipercayakan kepada R.B Wiyono dan PLT Ketua Pusat tetap dipegang oleh Arief Suryono.
11 – 12 Maret 2016 Terselanggarakanya Parapatan Luhur yang mengeluarkan keputusan menetapkan Dr.Ir.H. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc sebagai Ketua Umum dan R.B Wiyono sebagai Majelis Luhur untuk memimpin PSHT 5 tahun kedepan hingga parapatan luhur terselenggara kembali tahun 2021.